Destinations

Impian Anak Timur: Sekolah Tinggi & Bangun Papua

Sa ingin pintar dan sekolah tinggi agar bisa membangun Papua. Sa mau membuat Papua damai.” —Yunia Bagau, Kelas 9 SMP Taruna Papua

Saya tidak pernah terpikir akan berkunjung ke Papua dalam waktu dekat. Namun, kesempatan datang secara tiba-tiba saat saya sedang proses resign dari kantor tempat saya bekerja. Saya sepakat untuk mengambil kesempatan tersebut, dan terbang pada 29 Januari 2018 silam. Dengan isi kepala yang tidak memahami tentang Tanah Papua, saya berharap menemukan banyak cerita di sana.

Di kepala saya, Papua adalah daerah paling Timur Indonesia yang memiliki kekayaan besar. Namun, seperti yang saya saksikan di beberapa media, Papua juga menjadi salah satu daerah yang masih tertinggal dibandingkan daerah lain di Indonesia. Sebelum sampai di Tanah Papua, saya hanya berpikir jika saya akan tinggal di daerah yang dikelilingi hutan, sulit menemukan tempat untuk berbelanja kebutuhan, dan bahkan menyaksikan banyak masyarakatnya yang berburu. Namun, begitu sampai di Papua Barat—tepatnya di Kabupaten Timika—segala imajinasi saya pudar.

Kota kecil tersebut, tak ubahnya seperti daerah yang sedang berkembang dan cukup mudah untuk menjangkau sejumlah barang kebutuhan. Bahkan sarana hiburan seperti tempat karaoke besar dan pusat perbelanjaan, ada di kabupaten ini. Bukan hanya itu, sarana dan prasarana pendidikan dari TK sampai SMA pun tersedia (meskipun mungkin jumlahnya bisa dihitung jari). Jadi, saya berpikir jika sebenarnya Papua (terutama Papua Barat) adalah daerah yang sedang berbenah dan terus berkembang.

Hari pertama tiba di Timika, kami langsung berkunjung ke salah satu tempat bernama Sekolah Taruna Papua. Sekolah yang mendapat pembiayaan dari PT Freeport Indonesia melalui Lembaga Pengembangan Amungme dan Kamoro (LPMAK) ini, berdiri kokoh di sebuah desa di Kabupaten Mimika. Meski asrama dan sekolah ini terbilang luas, suasananya terbilang masih sepi; hanya terdapat beberapa orang murid yang bermain-main di lapangan.

Selain karena beberapa murid lain sedang belajar di kelas, sekolah ini memang masih terbatas untuk kalangan anak-anak 7 suku Papua yang mendiami area PT Freeport Indonesia yakni suku Amungme, Komoro, Damal, Moni, Dani, Mee, dan Ekari. Jika ditotal, jumlah murid di sekolah ini, dari TK sampai dengan SMP, belum mencapai angka 200 siswa.

Ketika tiba di gedung sekolah tersebut, kami disambut dan berkenalan dengan beberapa guru serta murid—salah satunya berkenalan dengan seorang murid berprestasi bernama Yunia Bagau. Yunia, yang berprestasi dalam bidang seni lukis ini, menceritakan perjuangannya menempuh pendidikan di sekolah ini, sekaligus membagikan kesukaannya dalam hal seni lukis.

Satu hal yang saya ingat tentang gadis berambut pendek ini adalah semangat dan kepercayaandirinya. Saya terenyuh mendegar kisah panjangnya tentang perjuangan untuk sekolah, dan impian-impian ke depan yang sangat mulia. Untuk anak seusianya, saya berpikir bila Yunia sangat percaya diri untuk menjalin komunikasi dan menjawab pertanyaan-pertanyaan kami secara baik dan cerdas.

“Mama sa minta untuk membantu keluarga di rumah,” ujarnya. “Setiap libur sekolah dan pulang ke rumah, sa tidak boleh lagi kembali ke sini, tapi sa memaksa karena ini sudah jadi keinginan sa,” tambahnya sambil berurai air mata. Yunia berujar, meski keinginannya untuk sekolah sempat ditentang, pada akhirnya orangtuanya membiarkan Yunia menentukan pilihannya, “Sa ingin pintar dan sekolah tinggi biar bisa membangun Papua. Sa mau membuat Papua damai,” tandasnya sambil merapikan beberapa hasil karya lukisnya.

Berinteraksi dengan Yunia mengingatkan sosok saya saat usia tersebut. Saya pernah merasakan semangat yang sama—untuk mencapai pendidikan tinggi—meski tinggal jauh dari kehidupan perkotaan. Saya menemukan sorot keyakinan dan kepercayaan diri Yunia terhadap impiannya, sama halnya dengan keyakinan saya ketika menjawab pertanyaan orang tentang cita-cita saya: melanjutkan pendidikan hingga jenjang tinggi (setidaknya sebelum usia 25, saya sudah menyelesaikan program S2). Impian yang sederhana, tetapi siapa sangka sejumlah impian masa kecil tersebut nyata—saya selalu bersyukur bila mengingat hal tersebut.

Di hari yang sama, kami juga berkunjung ke sebuah Sekolah Dasar Negeri di Utikini Baru, Mimika. Bila Sekolah Taruna Papua (sebagian besar) diperuntukkan bagi anak-anak 7 Suku, sedangkan sekolah ini untuk masyarakat umum. Kami datang ke sekolah tersebut bersama salah seorang tim kesehatan dari Klinik SP12 di Mimika Baru dengan tujuan untuk melakukan penyuluhan kesehatan; tentang gizi dan juga malaria.

Meski perjalanan ke desa ini cukup jauh dari pusat Kota Timika dan harus melalui beberapa hutan, lagi-lagi saya disuguhi fakta bahwa desa di Papua tidak seperti apa yang saya bayangkan; rumah-rumah sudah cukup modern (meski belum semuanya) dan sekolah yang dibangun kokoh serta apik. Saya juga mendapati beberapa masyarakat transmigran asal Jawa di desa ini—termasuk, beberapa diantaranya menjadi guru di sekolah ini. Namun, yang menjadi permasalahan, pendidikan di daerah ini memang belum sepenuhnya diperhatikan; anak-anak masih sekolah tanpa seragam, bahkan beberapa diantaranya tanpa menggunakan alas kaki.

“Kakak berasal dari mana?” tanya salah satu siswi bersama beberapa temannya, sambil terlihat malu-malu. Anak tersebut menatap saya sambil mengunyah camilan berupa “ciki-cikian”.

“Saya dari Jakarta,” jawab saya, sambil menanyakan nama dan kelas dari gadis kecil berambut ikal-pendek tersebut. Namun, sayangnya, saat menuliskan kisah ini saya sudah tidak mengingat susunan nama anak tersebut.

Namun, saya mengingat satu hal, saat saya tanyakan tentang impiannya, “Sa ingin terus lanjut sekolah, nanti mau kuliah di Yogyakarta,” tandasnya sambil terlihat malu-malu. Saya tersenyum. Haru. Menyadari bahwa masih banyak anak di pelosok negeri ini yang sesungguhnya mandambakan pendidikan tinggi dan memiliki impian mulia—salah satunya, berharap dapat membangun tanah kelahiran mereka.

Perjalanan ke Papua Barat tersebut, benar-benar membuka mata saya bahwa saya harus bersyukur; meski berasal dari pelosok Sumatera Selatan, saya masih mendapat kesempatan untuk sekolah tinggi. Saya pun berharap, impian anak-anak Papua (dan juga anak Indonesia lainnya) untuk mengenyam pendidikan tinggi dan dapat membangun daerah kelahirannya, dapat terwujud dan berbuah manis. Semoga.

No Comments

    Leave a Reply